Sabtu, 16 Januari 2010

Surabaya dalam kanca Pilkada, milik siapa ?

Pemilu walikota Surabaya sebentar lagi akan dihelat, namun selama itu adakah calon pemimpin (kandidat walikota) Surabaya baru yang mampu dan berani melakukan sebuah transformasi kehidupan rakyat Surabaya menuju taraf hidup yang lebih baik secara keseluruhan, bukan menciptakan segelintir konglomerat-konglomerat di kota Surabaya. Tentunya dengan hal tersebut, kandidat walikota Surabaya berikutnya harus tahu betul situasi dan kondisi serta berpengalaman dalam menangani persoalan-persoalan kota yang kian hari kian bertambah, sehingga diharapkan yang menjadi Walikota kedepan bukan ‘pemimpin yang coba-coba’.


Walikota Surabaya kedepan harus mampu sebagai sosok pemimpin yang mengayomi masyarakatnya sekaligus seorang ‘manajer’ yang bertugas mengelola sumber daya Pemerintah Kota. Otonomi daerah harus diwujudkan dalam kerja-kerja yang nyata, bukan hanya menjadi trend pemerintah kota. Misalnya ketika otonomi masing-masing daerah diharapkan dapat meningkatkan PAD, berbagai cara pun ditempuh dalam mengejar keuntungan ekonomi melalui kebijakan pembangunan. Pertokoan berkapasitas besar seperti pasar modern, menjadi salah satu pilihan pemkot/pemda untuk menjadi mesin ekonomi. Pembangunan mal dan pasar modern di Surabaya sudah overload, dan mengancam keberadaan pasar tradisional. Maraknya pusat-pusat perbelanjaan modern tidak lepas dari sikap pemerintah yang mudah menerbitkan ijin pendirian pasar modern. Marginalisasi pasar tradisional terjadi karena desakan arus modal besar yang kuat ditambah kebijakan pemerintah yang semakin berpihak kepada pemodal besar.



Fenomena maraknya pusat-pusat perbelanjaan modern ditanggapi beragam oleh para stakeholders yang berkaitan dengan pemberdayaan pasar tradisional. Hal ini berkaitan dengan perbedaan kepentingan diantara para stakeholders tersebut. Esensi kebijakan publik adalah ”kepentingan publik”. Kepentingan publik merupakan hasil akhir dari proses tawar-menawar sekian banyak kepentingan yang ada di dalam masyarakat.

Kebijakan publik merupakan preferensi nilai dari para elit yang berkuasa. Seringkali kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan dari masyarakat luas ”rakyat”. Sikap para pedagang pasar tradisional terhadap maraknya pasar modern adalah merasa dirugikan karena penurunan omset, dan kecewa karena pendapatnya tidak diakomodir dalam sebuah Perda. Para pedagang hanya dapat pasrah dan menganggap ancaman dari pasar modern merupakan tantangan bagi pasar tradisional.

Sehingga pantaslah bila kita menanyakan Surabaya milik siapa?, apakah segelintir konglomerat yang akan terus menikmati menguras habis segala bentuk potensi Surabaya sehingga berdampak tersingkirnya masyarakat kecil, atau Surabaya menjadi milik seluruh masyarakat Surabaya, tentunya pertanyaan tersebut lebih bijak walikota Surabaya berikutnya yang menjawab, sesungguhnya mau dibawa kemana Surabaya kedepan. Sehingga ‘even’ pilwali Surabaya 2010 mendatang bukan even seremonial semata, tapi memiliki korelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Surabaya.

Dikirim oleh Iza Sadzili, mahasiswa FH Unair

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 16 Januari 2010

Surabaya dalam kanca Pilkada, milik siapa ?

Pemilu walikota Surabaya sebentar lagi akan dihelat, namun selama itu adakah calon pemimpin (kandidat walikota) Surabaya baru yang mampu dan berani melakukan sebuah transformasi kehidupan rakyat Surabaya menuju taraf hidup yang lebih baik secara keseluruhan, bukan menciptakan segelintir konglomerat-konglomerat di kota Surabaya. Tentunya dengan hal tersebut, kandidat walikota Surabaya berikutnya harus tahu betul situasi dan kondisi serta berpengalaman dalam menangani persoalan-persoalan kota yang kian hari kian bertambah, sehingga diharapkan yang menjadi Walikota kedepan bukan ‘pemimpin yang coba-coba’.


Walikota Surabaya kedepan harus mampu sebagai sosok pemimpin yang mengayomi masyarakatnya sekaligus seorang ‘manajer’ yang bertugas mengelola sumber daya Pemerintah Kota. Otonomi daerah harus diwujudkan dalam kerja-kerja yang nyata, bukan hanya menjadi trend pemerintah kota. Misalnya ketika otonomi masing-masing daerah diharapkan dapat meningkatkan PAD, berbagai cara pun ditempuh dalam mengejar keuntungan ekonomi melalui kebijakan pembangunan. Pertokoan berkapasitas besar seperti pasar modern, menjadi salah satu pilihan pemkot/pemda untuk menjadi mesin ekonomi. Pembangunan mal dan pasar modern di Surabaya sudah overload, dan mengancam keberadaan pasar tradisional. Maraknya pusat-pusat perbelanjaan modern tidak lepas dari sikap pemerintah yang mudah menerbitkan ijin pendirian pasar modern. Marginalisasi pasar tradisional terjadi karena desakan arus modal besar yang kuat ditambah kebijakan pemerintah yang semakin berpihak kepada pemodal besar.



Fenomena maraknya pusat-pusat perbelanjaan modern ditanggapi beragam oleh para stakeholders yang berkaitan dengan pemberdayaan pasar tradisional. Hal ini berkaitan dengan perbedaan kepentingan diantara para stakeholders tersebut. Esensi kebijakan publik adalah ”kepentingan publik”. Kepentingan publik merupakan hasil akhir dari proses tawar-menawar sekian banyak kepentingan yang ada di dalam masyarakat.

Kebijakan publik merupakan preferensi nilai dari para elit yang berkuasa. Seringkali kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan dari masyarakat luas ”rakyat”. Sikap para pedagang pasar tradisional terhadap maraknya pasar modern adalah merasa dirugikan karena penurunan omset, dan kecewa karena pendapatnya tidak diakomodir dalam sebuah Perda. Para pedagang hanya dapat pasrah dan menganggap ancaman dari pasar modern merupakan tantangan bagi pasar tradisional.

Sehingga pantaslah bila kita menanyakan Surabaya milik siapa?, apakah segelintir konglomerat yang akan terus menikmati menguras habis segala bentuk potensi Surabaya sehingga berdampak tersingkirnya masyarakat kecil, atau Surabaya menjadi milik seluruh masyarakat Surabaya, tentunya pertanyaan tersebut lebih bijak walikota Surabaya berikutnya yang menjawab, sesungguhnya mau dibawa kemana Surabaya kedepan. Sehingga ‘even’ pilwali Surabaya 2010 mendatang bukan even seremonial semata, tapi memiliki korelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Surabaya.

Dikirim oleh Iza Sadzili, mahasiswa FH Unair

Tidak ada komentar:

Posting Komentar